Di Balik Bukit Oinbit, Impian Semangat Tanpa Batas: Mutiara Penerus Bangsa  

Dendy Prasetya dan Bagas Ibra Mahendra Sakti, dua mahasiswa Universitas PGRI Madiun (Universitas PGRI Madiun) dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), baru saja menuntaskan pengalaman mengajar yang tak hanya menguji ketahanan fisik mereka, tetapi juga membuka mata tentang esensi sejati pendidikan. Keduanya terpilih untuk mengikuti program TKDN (Transfer Kredit Dalam Negeri) yang digagas oleh  Divisi BKH (Biro Kerjasama dan Humas) Universitas PGRI Madiun, membawa mereka ke SDN Ekafalo, di desa Oinbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.


Perjalanan panjang mereka dimulai dari SMAN 1 Kefamenanu, tempat mereka bertemu dengan para guru Bahasa Inggris dan anggota English Club yang turut serta. Mereka berangkat menggunakan bis dan pickup, menempuh waktu sekitar 2,5 jam menuju desa Oinbit, yang terletak jauh dari keramaian perkotaan. Desa ini dikenal sebagai salah satu yang terisolasi, di mana akses ke fasilitas pendidikan dan teknologi masih sangat terbatas. Meskipun begitu, Oinbit memiliki keindahan alam yang memukau, dikelilingi perbukitan hijau yang menambah pesona perjalanan mereka.


Meski cuaca terik dan medan yang cukup berat menjadi tantangan awal, perjalanan ini memberikan mereka kesempatan untuk melihat lebih dekat kehidupan masyarakat pedalaman yang kaya akan keramahan dan kearifan lokal. Bagi Dendy dan Bagas, meski fasilitas terbatas, mereka merasa terinspirasi oleh ketulusan hati orang-orang di desa ini, yang tetap menjaga semangat dan harapan untuk pendidikan lebih baik.


Setibanya di SDN Ekafalo, suasana yang berbeda langsung menyambut mereka. Anak-anak SD yang penuh semangat menyanyikan lagu-lagu daerah dalam bahasa Tetun, menunjukkan betapa mereka merindukan pembelajaran yang berkualitas. Kegiatan pertama dimulai dengan perkenalan diri dari anak-anak English Club, dilanjutkan dengan pembagian kelompok untuk mengajar. Dendy dan Bagas, yang juga turut mengajar, merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari pengalaman ini.


"Saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, saya terkejut dengan keramahtamahan warga, meskipun mereka hidup dalam keterbatasan. Kami mengajar bukan hanya soal materi pelajaran, tetapi juga bagaimana memberi mereka harapan dan perspektif baru," ujar Dendy saat diwawancarai, Selasa, 03/12/2024, kemarin.


Mereka tak hanya mengajarkan bahasa Inggris, tetapi juga memberikan pengetahuan tentang pentingnya teknologi dan digitalisasi. Dengan fasilitas yang terbatas, mereka memanfaatkan media visual sederhana dan metode kreatif untuk mengenalkan dunia digital kepada anak-anak, membuka pintu bagi mereka untuk melihat potensi besar yang ada di luar sana.


Acara kemudian dilanjutkan di lapangan dengan sesi permainan dan presentasi yang dikemas dalam bahasa Inggris. Salah satu momen yang paling mengesankan bagi Dendy dan Bagas adalah melihat semangat belajar anak-anak SDN Ekafalo yang luar biasa. 
"Meskipun mereka berasal dari daerah yang terisolasi, semangat mereka untuk belajar bahasa Inggris sangat tinggi. Rasanya sangat menggugah hati melihat mereka begitu antusias," tambah Bagas.


Usai kegiatan di SDN Ekafalo, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bendungan Benkoko, yang hanya berjarak sekitar 30 menit dari sekolah. Di sana, mereka melakukan observasi lingkungan dan melakukan sesi fun game dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini semakin mempererat hubungan antara mahasiswa, guru, dan anak-anak English Club, serta memberi mereka wawasan lebih tentang pentingnya menjaga lingkungan dan memanfaatkan teknologi untuk perkembangan masyarakat.


Mengajar di pedalaman memang bukan perjalanan yang mudah. Namun bagi Dendy dan Bagas, tantangan tersebut justru semakin menguatkan semangat mereka untuk memberi yang terbaik. “Di tengah teriknya matahari, kami merasa begitu dihargai oleh masyarakat setempat. Setiap senyum ceria dari anak-anak dan sambutan hangat dari warga menjadi semangat yang tak ternilai bagi kami,” tambah Dendy.


Pengalaman ini juga memberi mereka pelajaran berharga tentang pentingnya ketulusan dalam pendidikan. Dendy dan Bagas menyadari bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh fasilitas atau sarana yang ada, tetapi juga oleh semangat dan komitmen para pendidik untuk memberikan yang terbaik bagi generasi penerus.


Dari pengalaman ini, Dendy dan Bagas berharap bahwa semakin banyak mahasiswa yang terinspirasi untuk turun ke lapangan dan berkontribusi dalam memajukan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Mereka merasa bahwa semangat belajar yang tinggi dari anak-anak di daerah pelosok harusnya bisa disalurkan dengan baik, agar potensi mereka bisa berkembang lebih maksimal.


“Meskipun berada jauh dari keluarga dan kampus, kami merasa bahwa ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk memberi dampak positif. Kami ingin mengajak generasi muda untuk lebih peduli dengan daerah-daerah yang masih terisolasi, karena pendidikan adalah kunci untuk membuka masa depan yang lebih cerah,” tutup Dendy.
Perjalanan Dendy dan Bagas bukan hanya sekadar pengalaman mengajar di pelosok negeri, tetapi juga sebuah kisah nyata tentang bagaimana pendidikan bisa menjadi jembatan bagi kemajuan bangsa. Dengan semangat yang tulus dan tekad yang kuat, mereka menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal pengajaran materi, tetapi juga tentang memberi harapan, membuka wawasan, dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di daerah terpencil.